Thursday, August 31, 2006

APAKAH TUHAN MENCIPTAKAN KEJAHATAN? (Kisah Nyata)

Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada?

Apakah

Tuhan menciptakan kejahatan? Seorang Profesor dari sebuah universitas

terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini,

"Apakah

Tuhan menciptakan segala yang ada?".

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan

semuanya". "Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi.

"Ya,

Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti

Tuhan

menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip

kita

bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi

bahwa

Tuhan itu adalah kejahatan."

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor

tersebut.

Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia

telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya

bertanya

sesuatu?"

"Tentu saja," jawab si Profesor

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"

"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak

pernah

sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada.

Menurut

hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu

-460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi

diam

dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata

dingin

untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.

Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"

Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."

Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga

tidak

ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita

pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk

memecahkan

cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang

gelombang

setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu

ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut.

Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"

Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah

kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak

perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara

tersebut

adalah manifestasi dari kejahatan."

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda

salah,

Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan.

Seperti

dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk

mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kajahatan.

Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia.

Seperti

dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari

ketiadaan

cahaya."

Profesor itu terdiam.

Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein.

Friday, August 18, 2006

Teori Purdie

Hampir semua orang khususnya yang terjun di dunia entrepreneurship mengenal nama Purdie E. Chandra. Seorang entrepreneur sukses yang selalu menjadi ikon dalam setiap pembicaraan entrepreneurship. Ia adalah Primagama Group yang outletnya mencapai 400 outlet di seluruh Indonesia. Bahkan akan ekspansi ke luar negeri. Usahanya tidak hanya dibidang pendidikan, terus merambah di bidang lain: traveling, terminal tiket, properti, dan lain-lain.
Dalam berbagai seminar di beberapa kota di Indonesia, atau mentoring Entrepreneur University, ia sering memperkenalkan diri dengan sebutan “Profesi Pengusaha, Pekerjaan Golf”. Hal ini untuk menunjukkan bahwa menjadi pengusaha sukses itu nikmat dan tidak harus menangani sendiri secara langsung. Sebab, semua pekerjaan di perusahaannya sudah ada yang menangani, ia tinggal bekerja “seenaknya” sendiri, maul golf, catur, mancing, atau tiduran sampai bosan juga tidak ada yang melarang. Toh, uang akan datang sendiri. Belakangan ia selalu sibuk dengan hobinya yakni memberikan seminar bisnis di berbagai kota di tanah air khususnya seminar yang digelar oleh cabang-cabang Entrepreneur Universitay di berbagai kota.

Mengikuti beberapa kali seinarnya, dan membaca bukunya yang best seller berjudul “Menjadi Entreprener Sukses”, termasuk berkali-kali kesempatan bertemu secara informal, saya mencatat “teori” bisnisnya yang telah teruji sukses. Teorinya telah mengantarkan Bimbingan Belajar Primagama menjadi sebuah lembaga bimbingan test yang masuk MURI karena memiliki jumlah peserta dan outlet yang terbanyak di Indonesia. Teori-teori bisnisnya berbasis pada “Pengembangan kekuatan otak kanan, otak emosional-spiritual sebagai modal membangun bisnis”.

Kenapa otak kanan? Seperti kita ketahui otak kita terdiri dari dua bagian besar yakni otak kiri dan otak kanan. Otak kiri adalah otak yang bekerjanya sekuensial, urut, logis, analitis dan objektif. Otak kiri adalah otak yang tugas utamanya menjelaskan tentang sesuatu hal. Ia pandai menguraikan “benang kusut” menjadi lebih jelas, mengurai masalah dengan jelas berikut alternatif pemecahannya. Sementara otak kanan adalah otak yang bekerjanya, tidak urut, simultan, holistik dan relasional. Otak kanan terkenal juga dengan otak spiritual-emosional yang imajinatif dan kreatif. Berbeda dengan otak kiri yang ahli menjelaskan sesuatu, otak kanan ahli dalam hal “melakukan sesuatu”. Otak kanan adalah juga otak “keberanian”.

Dalam perspektif bisnnis, seseorang dengan dominan otak kiri hanya akan ahli menjelaskan bahwa “binis ini layak”, atau “bisnis itu tidak layak”, “bisnis harus begini dan begitu”, tapi giliran untuk praktik bisnis, otak kiri menjadi peragu. Sebaliknya, otak kanan yang cenderung emosional, sering tanpa perhitungan berani langsung praktik bisnis. Soal hitungan layak-tidaknya sebuah bisnis sering kali dikesampingkan. Menurut seseorang yang dominan otak kanan, soal hitung-menghitung dan soal teknis lainnya, bisa sambil jalan.

Sementara otak kanan adalah otak kreatif, dan imajinatif. Secara kodrati otak ini senantiasa menangkap dorongan spiritual-emosional: “ingin menciptakan sesuatu”, “ingin sukses besar”, “ingin menjadi…” dan dorongan imajinatif lainnya. Singkatnya otak kanan adalah otak pemimpi. Mimpi ingin menjadi pebisnis sukses, misalnya, terletak di otak kanan. Secara khusus, otak kanan adalah otak bisnis. Dikatakan demikian, karena otak kanan di dalamnya terdapat dorongan spiritual-emosional bisnis. Di dalam otak kanan pula tersimpan energi bisnis yang nyaris tidak pernah padam yakni OPTIMISME BISNIS.

Menurut Purdie (2005) bahwa seseorang yang mencerdaskan otak kananya lebih dahulu maka otak kiri akan mengikutinya. Bila otak kanan dinaikkan, maka otak kiri akan mengikutinya. Bila optimisme, kepercayaan diri, kesabaran, ketawakalan, tanggungjawab yang berada di otak kanan ditingkatkan maka otak kiri akan meningkat kemampuanya.

Cara meningkatkan kualitas otak kanan diantaranya melalui kemampuan berimjinasi. Dengan imajinasi pikiran menjadi melayang-layang memimpikan masa depannya yang lebih cemerlang. Imajinasi menjadikan seseorang lebih termotivasi. Karena otak kanan juga dikenal otak spiritual-emosional, maka untuk mencerdaskannya dapat melalui shalat khusyuk, shlat malam, berpuasa, dan berdzikir dalam hati setiap saat. Ketawakalan merupakan bentuk kecerdasan otak kanan.

Apabila otak kanan sudah cerdas, maka dapat menjadi pijakan utama dalam mengembangkan diri dan bisnis. Ketika seseorang bertawakal misalnya, maka resiko apa pun menjadi teratasi dengan baik. Setidaknya hal yang demikian Purdie telah membuktikannya melalui perjalanan bisnisnya yang kini mulai menggurita. Pengalaman sukses bisnisnya tertuang dalam buku best seller-nya “Menjadi Entrepreneur Sukses”.

Bila kita menyimak buku yang diterbitkan oleh Grasindo setebal 199 halaman terdiri 80 artikel format essay pencerahan itu, adalah artikel-artikel berbasis kecerdasan otak kanan atau kecerdasan emosional-spiritual. Hampir semuanya mengupas masalah bagaimana mencerdasakan dan memanfaatkan otak kanan. Simak artikel-artikel dalam Bab Pertama tentang sejumlah berani: “Berani Mimpi”, “Berani Mencoba”, “Berani Merantau”, “Berani Gagal” dan “Berani Sukses”. Pada lima bab berikutnya juga boleh dikatakan merupakan “tip” sukses bisnis berbasis otak kanan seperti sejumlah judul: “Mimpi Jadi Entrepreneur”, “Mimpi Jadi Investor”, “Gagal Kuliah Jadilah Entrepreneur”, “Berani Dulu Baru Terampil”, “Belajar Bisnis Sambil Jalan”.

Teori Purdie sebenarnya dibangun di atas otak kanan dengan mengakses dan memanfaatkan energi potensial otak kanan yakni optimisme. Salah satu kecerdasan puncak otak kanan atau pikiran emosional-spiritual adalah optimisme. Energi optimisme merupakan energi positif hasil kombinasi dari: energi spirit mewujudkan visi ditambah energi sikap positif tidak mengenal gagal, keuletan dan ketawakalan. Optimesme merupakan keyakinan seratus persen bahwa Tuhan tidak akan ingkar janji terhadap setiap usaha manusia pasti ada hasilnya.

Atas dasar optimisme yang bersifat transedental (optimisme atas dasar kepercayaan bahwa Tuhan tidak ingkar janji) Purdie membangun teori “smart street”, yakni pintar di jalanan, alias pintar karena pengalaman. Kalau mau buka bisnis jangan terlalu banyak pertimbangan kurang ini dan itu. Berani buka usaha, berani beresiko, keterampilan dan sukses akan mengikutinya.

Purdie sangat mempercayai bahwa optimisme transedental merupakan modal utama dalam bisnis. Hal ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan populernya pada berbagai kesempatan dan bahkan ungkapan ini menjadi “lagu wajib” dalam entrepreneurship. Jargon yang kemudian menjadi sangat identik dengan “Teori Purdie” adalah BODOL, BOTOL, dan BOBOL.

BODOL (Berani Optimis Duit Orang Lain). Menurut Purdie, kalau mau buka bisnis tapi tidak punya modal duit, maka kita harus tetap optimis dengan modal duit orang lain. Asal bisnisnya, prospektif kita harus optimis dengan duit orang lain. Entah itu berupa pinjaman berbunga, pinjaman sementara, atau bagi hasil . Malah, kata Purdie, meski kita punya uang sendiri kalau ada orang lain yang bersedia meminjami, diterima saja. Uang sendiri bisa untuk tambah modal atau cadangan operasional.

Ada kecenderungan psikologis bila kita bisnis modal pinjaman. Kita menjadi lebih termotivasi, lebih serius untuk menekuni usahanya. Sebab bila sampai target tertentu tidak terpenuhi atau bangkrut, resikonya lebih besar karena harus mengembalikan pinjamannya.

BOTOL (Berani Optimis Tenaga Orang Lain). Apabila Anda kebetulan sudah punya modal duit, tetapi masih ragu-ragu karena belum pengalaman, maka gunakan saja tenaga orang lain. Cari orang-orang yang dapat dipercaya, bertanggungjawab dan terampil di bidangnya. Tugas Anda adalah menciptakan system manajerial dan akuntasi, pembinaan dan kontrol seperlunya.

Setiap entrepreneur harus berani optimis dengan tenaga orang lain. Bukanlah seorang entrepneur beneran bila segalanya dikerjakan sendiri karena tidak percaya terhadap orang lain. Kesuksesan entrepreneur adalah apabila hampir semua aktifitas teknis dan manajerial dikerjakan oleh karyawannya. Tugas utama seorang entrepreneur adalah mengarahkan seluruh aktifitas bisnis sesuai visi dan misinya.

BOBOL (Berani Optimis Bisnis Orang Lain). Apabila sampai hari ini belum mempunyai ide bisnis, Anda harus berani optomis dengan bisnis orang lain. Bentuknya bisa dimulai dari meniru binis orang lain, bekerja sama dalam bentuk waralaba (franchise), atau menjadi anggota bisnis MLM (multi level marketing). Bisa juga misalnya, bagi hasil laba karena Anda punya tempat (tanah, gedung dan fasilitas lain) sementara orang lain membutuhkannya untuk pengembangan usahanya.

Atas dasar optimisme-optimesme tersebut diatas, Purdie dengan mudahnya mengatakan bahwa memulai bisnis ibarat masuk kamar mandi. Masuk saja, tanpa banyak pertimbangan. Baru setelah masuk kamar mandi, akan mengetahui kekurangannya: kurang sabun, sikat, shampoo atau yang lainnya. Maksudnya, kalau Anda mau memulai bisnis, masuk saja secara optimis, kekurangan akan ketrampilan, modal dan sebagainya dapat dilengkapi nanti.

Kenapa optimisme yang menjadi landasan membangun bisnis yang sukses? Sepanjang masih ada optimisme –yang transeden utamanya— pada seorang entrepreneur, semua pintu kegagalan tertutup, dan semua pintu peluang sukses terbuka lebar. Selebar hati saat-saat menerima ketawakalan menuju sukses.

Monday, August 14, 2006

Today's Article

GARAM.

Seorang pemuda duduk ditepi jalan,ia menangis ter sedu2,...; Beberapa
saat kemudian, seorang tua menghampiri,...'mengapa kau menangis
nak,...?' tanya pak tua itu lembut,....;

Diantara air mata, pemuda itu menjawab,..' hancur hidupku pak,...aku di
PHK, perusahaan tempatku bekerja bangkrut,... hartaku hilang di tipu
orang,.. kekasihku lari bersama orang lain, habis, habis semua,.....'

Pak tua itu tersenyum, mengambil sebuah gelas, mengisinya dengan air,
dan mengambil segenggam garam dari kantungnya, dan mengaduk garam dan
air di gelas tersebut,.......'cobalah kau minum ini nak,...' katanya
pelan, ...; pemuda itu meminumnya dan langsung menyemburkannya
kembali,....; 'bagaimana rasanya nak,...?' tanya pak tua,....;
'wuah,..... asin, ndak karuan,....' jawab pemuda agak marah,....; pak
tua tersenyum,.... diajaknya pemuda kesebuah telaga tidak jauh dari
mereka,.....pak tua mengambil lagi segenggam garam dari kantungnya,..
mengaduk garam di air telaga,... lalu disuruhnya pemuda itu minum air
telaga tersebut,....'nah,... bagaimana rasanya sekarang,...?'

'segar pak,...' jawab pemuda itu ber seri2,....;'nah anak muda,....garam
itu adalah segala sesuatu yang terjadi dalam hidupmu,....gelas, dan
telaga adalah hatimu,.... apabila hatimu sesempit gelas,.. maka segala
kejadian dalam hidupmu akan terasa sangat menyusahkan,.......namun,
apabila hatimu seluas telaga, maka segala kejadian tidak akan terlalu
mempengaruhi mu,.....bukankah kau masihmuda,.... mempunyai pikiran2 dan
ide2 yang cemerlang,... kesehatan,..waktu yang panjang,..... nah,
mulailah hidupmu kembali,.....jangan hanya meratapi yang sudah
terjadi,.......' kata pak tua sambil berlalu.

Thursday, August 03, 2006

Today's Article

DRIFTING, WITHOUT AIM OR PURPOSE, IS THE FIRST CAUSE OF FAILURE

Without a plan for your life, it is easier to follow the course of least resistance, to go with the flow, to drift with the current with no particular destination in mind. Having a definite plan for your life greatly simplifies the process of making hundreds of daily decisions that affect your ultimate success. When you know where you want to go, you can quickly decide ifi your actions are moving you toward your goal or away from it. Without definite, precise goals and a plan for their achievement, each decision must be condisdered in a vacuum. Definiteness of purpose provides context and allows you to relate specific actions to your overall plan By Napoleon Hill

entrepreneurial spirituality

Dua hari yang lalu, saya menerima sebuah pesan singkat (sms) dari seorang teman. Isinya, sebuah kabar duka tentang meninggalnya seorang rekan, yang sudah sekian tahun tidak berjumpa. Namanya Tedjo (bukan nama sebenarnya).

Ketika saya menelpon balik kepada si pengirim sms, dia bercerita bahwa rekan kami yang meninggal itu sungguh bernasib naas.

Semula Tedjo adalah seorang wirausahawan sukses, bahkan karena suksesnya itu ia bisa terpilih sebagai Ketua Umum sebuah asosiasi pengusaha dalam bidang bisnis tertentu.

Belasan tahun, sejak zaman Orde baru, Tedjo berkiprah sebagai pengusaha yang penuh kejayaan, kegemerlapan serta keglamoran. Ia kebanggaan keluarga, terutama bagi isteri dan anak-anak, serta sekaligus menjadi kebanggaan para sahabat dekatnya.

Sampai suatu ketika, beberapa saat sebelum gerakan reformasi meletus, lahan bisnis yang sudah bertahun-tahun digarapnya, diambil alih oleh seorang pejabat pemerintah yang berkuasa. Dan ternyata, peristiwa itu menjadi sebuah momentum dari sebuah perjalanan panjang penuh kepahitan bagi kehidupan Tedjo selanjutnya.

Sebagai seorang pengusaha yang pernah gilang-gemilang sekian lama, di mana ia telah menjadi lambang kejayaan sebuah komunitas besar dari sebuah industri, Tedjo mencoba bertahan. Ia percaya bahwa dirinya masih cukup piawai untuk merebut kembali kepemimpinan bisnis di pasar.

Tedjo mungkin saja benar. Kepiawaian dalam bidang usaha yang telah digeluti selama waktu yang lama, ditambah ketahanan finansial yang cukup besar hasil kucuran keringatnya selama ini, memberi bukti bahwa ia masih mampu terus berkiprah selama lebih dari lima tahun.

Namun demikian, hasil perjuangannya itu cuma sebatas mempertahankan nafas. Kinerja perusahaannya tidak kunjung meningkat, bahkan sedikit demi sedikit statistik memperlihatkan degradasi yang terus menurun. Meski segala kemampuan dan segala jurus bisnis yang dipunyai telah dikerahkan sepenuh-penuhnya, namun tetap saja tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.

Sejalan dengan berlalunya sang waktu, pamor seorang Tedjo yang dahulu adalah tokoh kebanggaan komunitasnya, kebanggaaan keluarga dan para sahabat, mulai memudar. Dan akhirnya pada tahun ke tujuh, perusahaan milik Tedjo harus gulung tikar dengan meninggalkan sejumlah hutang yang harus dibayar.

Sungguh sial nasib tokoh kita ini. Para sahabat yang tadinya begitu dekat dan akrab, sekarang pergi meninggalkan dirinya satu per satu. Seakan tidak ada lagi yang mau peduli akan nasibnya yang sedang dirundung malang. Bagaikan sekawanan kumbang yang terbang pergi entah ke mana setelah puas menghisap madu.

Puncaknya adalah ketika tanpa pernah disangka, sang isteri yang selama ini kelihatan setia mendampingi di saat sukses, kini ikut- ikutan berubah sikap. Tiada lagi senyum mesra, tidak ada lagi canda tawa dan tiada lagi pandangan penuh kekaguman pada sang suami. Yang ada hanya sikap acuh tak acuh, senyum sinis, kata-kata menusuk hati serta perilaku yang sudah di luar kendali.

Sehebat-hebatnya seorang Tedjo, ia tetaplah seorang manusia yang terdiri dari darah dan daging. Ia bukan terbuat dari baja atau beton bertulang. Usaha yang bangkrut serta beban finansial yang menyertainya, ditambah lagi beban mental yang harus diterima dari perubahan sikap para sahabat dan terutama isterinya sendiri, telah membuat Tedjo terpukul luar dalam.

Ia tidak mampu lagi berfikir jernih. Kecerdasan otaknya yang selama ini sangat brilian mencetuskan ide-ide bisnis, kini membeku.
Depresi mental pun menyergap, dan ia menjadi sosok yang sakit- sakitan. Satu tahun ke depan setelah peristiwa penutupan perusahaannya, adalah masa-masa di mana ia harus keluar-masuk rumah sakit.

Pada akhirnya, tanpa dukungan moral dari pihak keluarga serta para sahabatnya, Tedjo pun berpulang ke rakhmatullah beberapa waktu kemudian.

Wafatnya Tedjo, bukanlah peristiwa pertama yang membuat saya harus berfikir tentang seluk beluk kehidupan ini, teristimewa tentang liku- liku kehidupan yang melingkupi para wirausahawan.

Beberapa tahun sebelum kematian Tedjo, seorang teman lain berinisial F, pernah mengirim kabar kepada saya bahwa ia sedang berada di ruangan sebuah rumah sakit, karena esok harinya akan menjalani operasi jantung yang cukup kritis.

F bercerita dengan jujur bahwa hal itu bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi kira-kira 2 tahun sebelumnya. Sebuah peristiwa di mana ia harus menelan kenyataan pahit, bahwa proyeknya yang bernilai milyaran rupiah, dibatalkan begitu saja oleh seorang pejabat yang baru diangkat.

Protes sana, protes sini, urus sana urus sini, semua usahanya itu sia-sia belaka. Dan akhirnya, investasi bermilyar rupiah pun amblas!

Shock berat, menyebabkan tekanan jiwa dan gangguan jantung, yang berakhir di meja operasi. Syukurlah teman ini akhirnya selamat dan sembuh, dengan meninggalkan bekas sayatan panjang membelah dada serta lengannya.

Biar bagaimana pun, peristiwa-peristiwa semacam ini adalah sebuah realitas. Sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya, dan seharusnya tidak pula kita berpaling darinya.

Wirausahawan, sejalan dengan makna yang terkandung dalam kata "wira", adalah seorang patriot. Seorang pejuang, yang memperjuangkan harkat dan kehormatan diri, keluarga serta masyarakat.

Yang menjadi pertanyaan adalah, bisakah kejadian-kejadian semacam itu dicegah? Dapatkah jatuhnya korban diminimalisir sampai sesedikit mungkin?

Sebagaimana telah saya paparkan pada tulisan terdahulu, seorang wirausahawan perlu melakukan balance adjustment atas 2 hal penting, yaitu keberanian versus kecerdikan (bravery vs smartness).

Kecerdikan lebih bersandar kepada logika. Dengan dasar-dasar pemikiran yang sederhana, sebenarnya seseorang akan dapat menekan tingkat risiko stres dan depresi, sampai ke tingkat cukup signifikan.

Saya terkesan dengan kiat seorang teman di milis, yang mengajukan sebuah konsep berbasis smartness.

Teorinya sederhana. Yaitu, apabila kita membangun sumber penghasilan lebih dari satu kuadran (misalnya satu di kuadran "B"/bisnis dan satu lagi di kuadran "S"/self employed), maka tentunya posisi keuangan kita akan lebih aman dibanding kalau kita cuma mempunyai sumber di satu kuadran saja.

Ini merupakan sebuah solusi yang sangat cerdik. Banyak yang sudah mempraktikkannya. Sebagai contoh, beberapa teman menjalankan usaha sambil tetap mempertahankan statusnya sebagai pegawai, untuk jangka waktu beberapa lama.

Konsep yang sama seharusnya dapat diterapkan juga dalam kasus-kasus bisnis sebagaimana diceritakan di atas. Andaikata teman saya Tedjo mau menjalankan bisnis di dua atau tiga bidang usaha yang berbeda sekaligus, mungkin cerita akan menjadi lain. Wallahu alam..

Solusi Spiritual

Di samping kecerdikan berdasarkan logika, ada sebuah solusi lain yang lebih bersifat hakiki, yang sebenarnya jauh lebih ampuh untuk digunakan sebagai penangkal stress dan depresi mental. Solusi dimaksud adalah solusi berdasarkan kiat-kiat spiritual.

Menurut saya, sudah seharusnya seorang entrepreneur mempersiapkan diri sebaik-baiknya -- termasuk dalam aspek spiritual – sebelum ia benar-benar terjun ke dalam kancah persaingan bisnis yang ganas.

Di negeri barat, kebanyakan kaum pengusaha adalah penganut-penganut agama Kristen yang baik. Sementara di Taiwan, Korea dan China, kaum pengusahanya rata-rata berbisnis dengan berpedoman kepada Konfusianisme. Dan mereka sangat memahami aspek-aspek spiritual.
Spiritualisme yang diterapkan dalam dunia kewirausahaan, disebut "entrepreneurial spiritualism".

Maka, untuk mengatasi depresi mental yang dialami para usahawan, diperlukan kesadaran tentang entrepreneurial spirituality. Ini adalah salah satu wacana yang merupakan bagian terpenting dari pengetahuan kewirausahaan secara utuh. Dengan kesadaran dimaksud, seorang entrepreneur akan selalu berada dalam kondisi: "berharap untuk yang terbaik, tapi tetap siap untuk yang terburuk".

Sayang sekali bahwa pembahasan mengenai hal terebut memerlukan penulisan panjang, yang tidak mungkin bisa dimuat hanya dalam satu artikel saja. Namun demikian, apabila rekan-rekan di milis, Pak Moderator serta sidang pembaca sekalian berminat untuk mencermati apa yang disebut dengan entrepreneurial spirituality, saya bersedia untuk menuangkannya dalam satu rangkaian tulisan.