Dimulai dari Warung Tegal (warteg)
Sore itu hari Sabtu 1 Desember 2003, ada sepasang suami-istri yang baru pindah di depan rumahku memperkenalkan diri. Namanya Udin dan Sari. Keluarga muda rupanya, baru 3 bulan menikah.
Tidak banyak barang yang dibawah pindahan, rupanya sebelumnya tinggal sekamar di rumah kos RT sebelah.
“Saya pingin jualan rokok dan kebutuhan harian,” kata sang suami di tengah-tengah perbincangan.
“Oh, bagus itu. Kalau bisa jual juga indomie telur. Saya pernah buka 3 bulan dan akhirnya tutup, karena sudah tua dan sepi,” jawabku
“Berapa kontrak di situ ?,” Pertanyaan klasik aku lontarkan.
„19 juta untuk 2 tahun, pak“ Jawab mas Udin.
„Di sini umumnya 7 jutaan“, timpalku memberitahukan kalau harga segitu terlalu mahal.
„Yaa, mudah-mudahan dengan jualan rokok, bisa menutup harga sewa“ jawab sang suami terkesan membela diri.
Esok harinya aku lihat ada sebuah pick up yang berhenti di depan rumah sambil menurunkan sebuah etalase berukuran 1 meter. Siang harinya, sang suami sudah datang dengan tentengan tas plastik besar yang berisi rokok, indomie, dll.
Senin pagi etalase itu sudah diisi dengan isian seadanya. Sepertinya jualan yang terlalu dipaksakan. “Tapi hebat lah, paling tidak untuk permulaan”, pikirku.
Sore itu aku sempatkan membeli rokok 2 batang rokok GG Filter kesukaanku. Harganya sama dengan di toko lain. Tapi untuk harga per-bungkusnya ada yang lebih murah 300 atau 500 rupiah. Aku juga melihat ada beberapa tetangga yang kos di sebelah rumah membeli rokok Djarum Super.
Satu minggu kemudian, aku melihat mangkok warna biru putih yang ditaruh di etalase rokok.
Buat apa pikirku? Saat aku membeli rokok, aku lihat ada tulisan menjual indomie telor – Rp. 2.500,- Rupanya sang istri memiliki ide untuk berjualan indomie telor.
“Gimana mbak, laku indomie telornya?” Tanya saya.
“Yaa, lumayan pak, ada satu dua,” jawab bu Sari.
“Apa saya bilang ?”sahutku. “ Yaa, dijalani dulu aja mbak pelan-pelan”
“Iya pak, lha wong baru satu minggu,” jawab bu Sari dengan aksen Jawa Timurannya
Berselang seminggu, aku lihat ada seorang wanita yang bernama Nung datang pagi dan pulang sore. Rupanya Nung ini memiliki keahlian masak dan dipekerjakan di sini.
Sore itu nampak ramai anak-anak muda yang kerja di seberang perumahan pada jajan du warung depan. Ada yang minum the botol, kopi, makan indomie telor dan ada yang duduk menunggu.
Aku jadi penasaran, “meraka pada menuggu apa ya?” pikirku. Kebbetulan rokoku habis.
“Rokok mbak Nung, satu bungkus” kata ku
„lima ribu ,pak“ jawab mbak Nung sambil memberikan sebungkus rokok Filter kesukaanku.
„Pada nungguin apa toh?“, tanyaku sambil penasaran.
“Ini pak, kami mulai jualan soto ayam” jawab mas Udin sambil menuangkan kuah soto ke mangkok. “Coba-coba bikin soto, pak”
“Wuah, bagus nih. Makin maju aja,” komentarku memberi motivasi.
“Yaah, alhamdulilah, sambil belajar pak”
Hebat juga nih keluarga muda, yang laki kerja di perusahaan dan istrinya diberdayakan. Apalagi sudah punya karyawan satu orang.
Andai saya masih muda, tentu saya akan memiliki semangat seperti itu. Sekarang umur sudah 59 tahun. Tapi, untungnya saya sudah punya kamar kost sebanyak 16.
Sebulan berlalu. Siang itu nampak mas Udin bepergian sendiri berpakaian batik. Rupanya kodangan. Istrinya tidak diajak karena sedang tidak enak badan. Sore hari sepulang kondangan, dia pulang berbarengan mobil pick up yang membawa etalase warung yang lebih besar. Ada rak untuk memajang lauk dan sayur.
Mau bikin apa lagi mereka. “Mungkin membesarkan warung nasinya, pak” sahut istriku di beranda.
Benar juga, esok harinya mbak Nung masak banyak. Etalase nasi nampak banyak pilihan lauk. Tidak hanya soto dan indomie menunya. Tapi ada sop, cah kangkung, dan lainnya.
Warteg Berkembang
Tidak lama kemudian ada spanduk jualan voucher. Berikutnya ada jualan aqua galon, voucher, empek-2 dan laundry.
Gila rumah itu dipakai jaualan apa saja toh.
Mbak Nung yang tadinya pulang sore, mulai tinggal di rumah tersebut karena harus belanja pagi-pagi dan masak. Apalagi warung itu buka sampai jam 10 pagi.
Karyawannya sudah bertambah satu lagi.
Delapan bulan setalah warung itu buka, nampak keluarga muda itu pulang kampung untuk mengantarkan istrinya pulang menjelang kelahiran anak pertamanya.
Warung tetap buka seperti biasa dengan dua karyawan. Hebat juga nich, gak ada bosnya tapi warung tetap buka. Jarang lho jaman gini ada karyawan jujur.
Ketika puasa, warung nasi itu siang harinya tutup. Menjelang buka puasa baru buka. Ada menu buka puasa seperti kolak dan es buah. Saat sahur pun warung itu tetap tampak ramai.
Toko Lain
Dua bulan setelah melahirkan anak, sang istri balik ke Jakarta.
Satu bulan setelahnya, nampak sang istri pergi siang pulang sore. Rupanya kerja. „Tapi kok sebentar,“ pikirku.
„Kata mbak Nung, mbak Sari itu buka toko voucher di mall“, sahut istriku.
„Oh, jadi cewek yang biasa datang malam itu karyawannya kali ya’“ jawabku bertanya-tanya
Enam bulan setelah itu, aku lihat ada dua orang karyawan.
Dua bulan berikutnya diadakan pertemuan, rupanya rapat karyawan, yang datang 8 orang.
„Hebat juga ya, kurang dari 2 tahun tetanggaku sudah punya 8 karyawan dan 4 toko. Padahal kita tetap begini-begini saja ya bu?“
„Yaa, kita sudah tua. Mudah-mudahan anak-anak kita juga bisa memiliki semangat seperti mereka ya pak“ jawab istriku.
Renungan
Dari cerita di atas apa yang bisa diambil pelajaran?
Kalau Anda bergerak dan orang lain diam, maka apa yang orang lain peroleh?
Dan apa yang Anda peroleh?
Tinggal kita mau pilih yang mana, diam atau bergerak?
Selamat merenung, bermimpi dan bertindak.
Sukses untuk Anda !

No comments:
Post a Comment